Sunday 3 April 2011

Hal-Hal yang Diperbolehkan dan Diharamkan Ketika Wanita Sedang Haid

Hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita yang sedang mengalami haid diantaranya:

1. Berdzikir kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- dan membaca al-Qur’an.

Al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan do’anya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.”[1]

‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- berkata, “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, beliau bersabda,“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).”[2]

Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-, dan al-Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah –subhaanahu wa ta’ala- berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (Qs. al-Hijr: 9)

Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca al-Qur’an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada ‘Aisyah yang sedang haid hanyalah thawaf.

Permasalahan membaca al-Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

* Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan, “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih yang jelas.”

* Adapun jumhur ahli ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca al-Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengqiyaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca al-Qur’an. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhu az-Zad 1/291.[3]

Asy-Syaikh Mushthafa al-Adhawi dalam kitabnya memberikan bantahan bagi orang yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an. Pada akhir tulisannya beliau berkata, “Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca al-Qur’an dan berdzikir, Wallahu a’lam.”[4]

2. Sujud Tilawah.

Seorang wanita yang sedang mengalami haid, diperbolehkan baginya untuk melakukan sujud Tilawah ketika mendengarkan ayat-ayat Sajdah karena hal itu bukanlah shalat dan tidak disyaratkan dalam keadaan suci.

Pernah suatu ketika Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- membaca Surat an-Najm, maka ketika beliau sampai kepada ayat Sajdah, beliau bersujud dan diikuti oleh orang-orang Islam, orang-orang musyrik, dan golongan jin serta manusia. Imam Zuhri dan Qatadah juga sependapat dengan hal itu Sebagaimana yang disebutkan dalam Mushannaf Abdul Razaq (I/321).[5]

3. Menyentuh mushaf.

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa al-Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa al-Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap al-Qur’an.

Berkata Asy-Syaikh Mushthafa al-’Adawi, “Mayoritas ahli ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar -wallahu a’lam- bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf al-Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf, pent.):

* Firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-:

لايَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Qs. al-Waqi’ah: 79).

* Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-:

“Tidaklah menyentuh al-Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. ath-Thabrani).[6]

* Jawaban atas dalil yang pertama:[7]

Pendapat pertama: mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dhamir (kata ganti) dalam firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-: (laa yamassuhu) adalah kitab yang tersimpan di langit. Sedangkan (al-muthahharun) adalah para malaikat. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia,

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ $ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ $ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ .

“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Qs. Al Waqi’ah: 77-79)

Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,

فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ $ مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ $ بِأَيْدِي سَفَرَةٍ $ كِرَامٍ بَرَرَةٍ .

“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.).” (Qs. Abasa: 13-16).

Inilah pendapat mayoritas ahli tafsir tentang tafsir ayat ini.

Pendapat kedua: tentang tafsir ayat tersebut bahwasanya yang diinginkan dengan al-muthahharun adalah orang-orang yang beriman. Berdasarkan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-, yang artinya:

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (Qs. at-Taubah: 28)

Dan dengan sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ .

“Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis.”[8]

Dan Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- melarang bepergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka.[9]

Pendapat ketiga: bahwasannya maksud dari firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-surat al-Waqi’ah: 79 di atas adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang yang beriman.

Pendapat keempat: pendapat ini merupakan pendapat yang diikuti oleh minoritas ahli tafsir, mereka mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan al-muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.”

Pendapat kelima: al-muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.

Pendapat keenam: al-muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).

Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh al-Qur’an. Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an memilih sisi kelima dan keenam.

Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan al-muthahharun dengan malaikat.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code