Sunday 3 April 2011

Hal-Hal yang Diperbolehkan dan Diharamkan Ketika Wanita Sedang Haid [2]

* Jawaban atas dalil yang kedua.[10]

Tidak saya dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak?

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Albani –rahimahullah- menshahihkannya dalam al-Irwa’ (91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas.

Asy-Syaikh Albani –rahimahullah- sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ adalah orang yang beriman baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid. Wallahu a’lam.

4. Ikut menghadiri ke tempat shalat ‘Ied.

Hal ini diperbolehkan, bahkan disunahkan untuk menyaksikan dan menghadiri shalat ‘Ied. Akan tetapi mereka dilarang melaksanakan shalat. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- bersabda, yang artinya:

“Agar para gadis, perawan dan wanita-wanita haid ikut keluar –untuk menghadiri shalat ‘Ied-. Hendaknya mereka ikut serta menyaksikan kebaikan dan do’a kaum muslimin. Namun wanita-wanita haid menjauh dari tempat shalat.”[11]

5. Masuk masjid.

Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Asy-Syaikh Mushthafa al-’Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya:

Dalil yang membolehkan:

a. Al-bara’ah al-ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk ke masjid.

b. Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih al-Bukhari.

c. Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau –shallallaahu ‘alahi wa sallam- yang artinya,

“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali thawaf di Ka’bah.”[12]

Dalam hadits di atas Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid, sebagaimana jama’ah haji boleh masuk ke masjid.

d. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- bersabda,

“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.”[13]

e. Atha bin Yasar berkata, “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudhu seperti wudhu shalat.”[14]Maka sebagian ulama mengqiyaskan junub dengan haid.

Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang bermalam di masjid. Diantara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang i’tikaf ada yang haid.

Dalil yang melarang:

a. Firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (Qs. an-Nisa’: 43)

Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘shalat’ dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-:

“…niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Qs. Al-Hajj: 40).

Mereka berkata, “Akan runtuh shalawat maknanya akan runtuh tempat-tempat shalat.”

Di sini mereka mengqiyaskan haid dengan junub. Namun Asy-Syaikh Mushthafa berkata, “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat berbuat demikian.”

2. Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat shalat ‘Ied.

Beliau –shallallaahu ‘alahi wa sallam- mengatakan (yang artinya), “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)

Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan ‘mushalla’ di sini adalah ‘shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- dan para shahabatnya shalat ‘Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).

3. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- mendekatkan kepala beliau kepada ‘Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga ‘Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu ‘Aisyah sedang haid.

Dalam dalil ini tidak ada larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.

4. Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran. Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.

5. Hadits yang lafadznya:

“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.”[15]

Akan tetapi hadits ini dha’if (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah binti Dajaajah. Kemudian Asy-Syaikh Mushthafa al-‘Adawi mengatakan, “Kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid, dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya.”[16]

6. Melayani suaminya.

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu aku pernah menyisir rambut Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- ketika aku sedang haid.”[17]

7. Tidur satu selimut dengan suami.

Dari Ummu Salamah, ia berkata, ”Tatkala aku tidur bersama Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- dalam satu kain, tiba-tiba aku haid. Maka aku menyelinap keluar untuk mengambil baju haid. Lalu beliau berkata, ‘Apakah engkau haid?‘ Aku berkata, ‘Ya, kemudian Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- memanggilku, maka akupun tidur kembali bersamanya dalam satu selimut.’[18]

Imam Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya tidur dan berbaring dengan isteri yang sedang haid dalam satu selimut.”[19]

8. Suami membaca al-Qur’an di pangkuan istrinya yang sedang haid.

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- membaca al-Qur’an sedangkan kepalanya berada dalam pangkuanku dan ketika itu aku sedang haid.”[20]

9. Makan dan minum bersama dengan istri yang sedang haid.

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu aku minum ketika sedang haid, kemudian kuberikan minumanku kepada Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, lalu beliau meletakkan mulutnya tepat pada tempat yang aku minum kemudian beliau meminumnya. Dan aku juga pernah menggigit daging dengan gigiku ketika aku sedang haid, kemudian aku berikan daging tersebut kepada Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Lalu beliau meletakkan mulutnya tepat pada bekas mulutku.”[21]

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code